Hubungan sebab-akibat adalah salah satu cara menilai
tanggungjawab hukum dalam suatu perbuatan melawan hukum. Tujuannya adalah
menentukan apakah seorang tergugat harus bertanggungjawab secara hukum dan apakah
perbuatan hukumnya menimbulkan kerugian pada orang lain. Ada dua pendekatan
hubungan sebab-akibat, yaitu hubungan sebab-akibat factual dan hubungan
sebab-akibat ‘sepatutnya diduga’. Hubungan sebab-akibat faktual membebankan
tanggungjawab hukum pada suatu perbuatan hukum, tanpa menghiraukan ada tidaknya
faktor moderasi atau faktor intervensi.
Sebagai contoh, Rasronto menabrak Rabejo dan menimbulkan
luka ringan. Untuk mengobati lukanya, Rabejo pergi berobat ke rumah sakit. Ternyata
dokter memberi obat yang salah, yang menyebabkan Rabejo keracunan obat dan
meninggal dunia.. Dalam hubungan sebab-akibat faktual, Rasronto harus
bertanggungjawab atas kematian Rabejo, meskipun Rasronto bukan penyebab
langsung meninggalnya Rabejo. Hubungan sebab-akibat factual tidak mengakui
adanya faktor moderasi atau mediasi. Tidak penting bahwa Rabejo mati karena salah
diberi obat oleh dokter atau sebab lain. Yang penting adalah Rabejo mati karena
sepedanya dirusakkan oleh Rasronto.
Berbeda dengan teori hubungan sebab-akibat “kira-kira”
(proximite cause). Teori ini didasari
pemikiran bahwa pelaku, sama seperti orang-orang lain yang berpikiran waras dan
wajar, tidak bisa memprediksi sesuatu yang akan terjadi, sehingga sepantasnya
dibebaskan dari tanggungjawab hukum atas sesuatu yang tak bisa diduga dan tidak
berhubungan langsung dengannya. Dalam contoh kasus diatas, Rasronto tidak bisa
dimintai tanggungajwab hukum karena kematian Rabejo karena itu bukan tindakan
Rasronto, dan bahwa Rasronto atau siapapun, tidak bisa menduga bahwa dokter
akan salah memberi obat. Maka, tanggungjawab kesalahan atau kerugian yang harus
dibayarkan oleh Rasronto, bila ada, adalah sebatas pada kecelakaan “menabrak dan
menyebabkan luka ringan” saja pada Rabejo.
Yogyakarta, 29 Maret 2020
Supriyono, SH, S.Pd., SE, MM, CM